Setelah membaca beberapa tulisan sahabat saya mas Ananto http://anantopratikno.blogspot.com/ mengenai The Power of Silaturrahim, seolah-olah mengingatkan saya kembali bahwa memang selalu ada dampak positif dari setiap niat dan usaha kita dalam membangun persahabatan, pertemanan atau dalam bahasa ‘bisnis’ biasa dianggap membangun networking, sekecil apapun. Dan itu saya dapatkan kemarin. banyak hal yang saya dapatkan, diantaranya ada satu hal, yang akan saya ceritakan disini, di tulisan pertama saya pada blog ini insyaAlloh..
Ahamdulillah dalam suatu kunjungan saya kepada seorang kenalan, guru kami Kak Agus di kediamannya, hal itu saya dapatkan. Bahkan disaat interaksi itu belum terjadi. Oiya, ingin saya ceritakan bahwa semula niat saya berkunjung semata-mata dalam rangka ingin bertemu melihat beliau sebagai seorang tokoh budaya di daerah kami yaitu lombok (saat ini beliau duduk sebagai kepala Taman Budaya NTB).
Orang yang saya cari sedang tidak ada di rumah, karna tekad sudah bulat ingin bertemu, saya memilih untuk menunggu kepulangan dia. Setelah dipersilahkan menunggu di ruang tamunya, sambil menunggu kedatangan beliau yang sedang dalam perjalanan pulang di ruang tamu rumahnya, saya memberanikan diri untukmeminta izin kepada salah seorang penghuni rumah, mengambil satu buku di sebuah rak yang sepertinya adalah perpustakaan pribadinya. Letaknya tidak jauh dari tempat saya duduk. Saya mengambil buku berjudul “Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan”. Salah satu bab di Buku itu setidaknya mampu menjawab kegelisahan saya selama ini. Kegelisahan yang cukup mengganggu. Kegelisahan yang muncul dari ketidaktahuan, ketidamampuan saya dalam sebuah menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan, tuduhan, yang dialamatkan kepada filsafat Islam. Buku tersebut bagi saya dapat memberikan sedikit kejelasan kepada saya mengenai tuduhan atau anggapan bahwa filsafat Islam tidak memiliki orisinilitas yang khas, bahwa tidak memiliki konsep Ontologi, Epistemologi dan aksiologi. Filsafat Islam seolah lenyap tidak memiliki karakteristik yang jelas, khas dan utuh.
Sebenarnya anggapan tersebut belum tentu benar. Melalui kajiannya Prof. DR Musa Asy arie menyampaikan bahwa tuduhan tersebut dikarenakan menggunakan ‘kacamata’ atau paradigm sejarah, sebut saja perspektif Historik dan Ketokohan. Yang selanjutnya Ia menyebutkan solusi perlunya pengembangan melalui perspektif metode. Pokok-pikiran beliau kira-kira seperti ini:
• Perkembangan pemikiran filsafat dari yunani (abad IV SM- III SM)
• Islam abad (VII-XII Masehi) dan barat (XVI Masehi- sekarang)
• Benang merah ada pada coraknya yang realistik, empirik dan dualistik
Perspektif Historik: pergeseran pusat kekuasaan
• Dinasti Abbasiyah menggeser pusat kekuasaan ke arah timur dari Damaskus ke Baghdad
• Dinasti Umayyah lebih mengutamakan keteraturan dan ketertiban (Bait Al hikmah)
• Konon kran pengaruh barat terbuka sejak Bait Al hikmah yg tidak hanya berfungsi observatium, tetapi ada serdadu penerjemah yang menyebarkan isinya kedalam bahasa arab
Perspektif historik: Persentuhan Islam ke Barat vis versa
• Kemungkinan transfer dan pertukaran ide-ide Filsafat skolastik Masehi dan Yahudi – yang berhubungan erat dengan dunia Islam menjembatani antara filsafat Islam dengan pemikiran filosofis modern
• Hubungan erat Roger Bacon (penguasa pemikiran abad pertengahan) dengan pemikiran Islam tidak puas dengan eksperimen kajian2 kimianya
• Fakta skeptifisme Descrates dengan tokoh yang mendahuluinya pada abad pertengahan yakni skeptisisme Al Ghazali dan Cogito Descrates
• Tapi ada kesamaan besar antara Cogito denga manusia terbang yang dikatakan Ibnu Sina
Perspektif historik tidak cukup bagi penjelasan filsafat Islam
• Cenderung bias dan reduktif
• Data-data sejarah yang bisa dijadikan premis mengambil kesimpulan
• Dapat ditarik benang merah yang mengaitkan konsep yang satu dengan konsep yang lainnya
• Proses dialektika yang mungkin bila masing-masing memiliki orisinalitas dan karakteristik yang khas
Perpektif Tokoh filsafat Islam
• Dapat dilihat corak pemikiran
• Konsep fisafat, aspek kajian filsafat seperti kajian Tuhan, manusia, alam, nilai-nilai yang mendasari kehidupan manusia
• Pemikiran Filsafat Islam bersandar pada tokoh-tokoh Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd
Perspektif Tokoh: pengaruh pemikiran terdahulu
• Anggapan hanya duplikasi pemikiran terdahulu saja kemudian dikembangkan dengan pemikirsan selanjutnya
• Al Farabi duplikasi Plato
• Ibnu Sina duplikasi Aritoteles
• Anggapan hanya komentar-komentar dari pelajaran Plato dan Aristoteles
Sehingga diragukan Kemurnian dari filsafat Islam itu
• Tuduhan yang bermuara bahwa filsafat Islam tidak memiliki Ontologi, Epistemologi, Aksiologi yang otentik dan utuh
• Keabsahannya sebagai konsep filsafat
• Berdampak pada anggapan lenyapnya identitas filsafat Islam itu sendiri yang memiliki karakter yang jelas, khas dan utuh
Sebenarnya ada hal yang menarik untuk bisa kita diskusikan lebih lanjut disini yakni pendapat Prof. Musa Asy’arif yang mengatakan bahwa Filsafat Islam perspektif metode perlu dikembangkan yang menurutnya filsafat Islam dapat muncul lebih kuat sebagai pembeda dengan filsafat Yunani melalui Perspektif Metode petunjuknya antara lain harus ada rujukan yang sah
• Nabi Muhammad saw sebagai filosof
• Beliau Uswatun hasanah/ laqod kaana lakum fii Rosulillahi uswatun hasanah (Al Qur’an)
Jangan diambil aspek luarnya saja tanpa memahami substansi ajarannya cth. Perintah utk memelihara jenggot, makan pakai tangan, masuk wc pakai kaki kiri dulu, memakai baju pakai tangan kanan
• Mengapa kita tidak meniru pola berfikirnya?
• Perbuatan adalah anak kandung dari fikir
• Perbuatan adalah derivasi dari pola pikir
• Fathanah (cerdas), pemikir besar (filosof)
• Membaca realitas berdasarkan kehadiran Ilahiyah didalamnya
• Basis kesadaran atas kehadiranNya disetiap realitas tidak bersifat pribadi atau personal seperti pandangan Pantheistik
• Tidak membuat realitas itu memiliki kekuatan magis seperti pandangan animisme dan dinamisme
Okey, saya tidak ingin melanjutkan lebih jauh karena pada dasarnya tema ini bukan bidang saya untuk menjelaskan secara valid dan konkrit. Apalagi untuk merumuskan metode berfikir Rosululloh saw dapat digunakan disemua bidang keilmuan. Yang paling mungkin bagi saya hanyalah sebatas mengkaji metodologi pemikiran Ekonomi Islam. Karena tentunya sudah menjamur para ilmuwan yang berfikir mengenai hal itu. Prinsip saya tegas bahwa dalam mengkaji filsafat, logika harus tunduk pada wahyu. Artinya ketika logika bertentangan dengan sumber-sumber hukum Islam, ketika itu juga sebenarnya logika tidak atau mungkin belum mampu untuk menjelaskan fenomena yang dijelaskan oleh wahyu itu.
Alhamdulillah….. belum lagi interaksi silaturahmi itu terjadi, saya sudah mendapatkan manfaatnya lewat buku yang saya baca itu….. kegelisahan itu diantaranya terjawab…. Mengtip kata H.M Syakir :“Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri. Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia 'menjerit' ingin mencari Al-Haqq, dan 'rembesannya' kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan”